Jutawan Kerupuk
Anda ingin mengetahui seberapa banyak orang Indonesia yang gemar makan kerupuk ? Simak saja kisah Supardi (55) pengusaha kerupuk tradisional yang dengan kerja kerasnya selama puluhan tahun menghantarkan ia menjadi seorang jutawan.
Tahu kerupuk ? Bagi saya makanan itu merupakan favorit saya yang akrab dikenal oleh sebagian besar rakyat kecil di Indonesia. Makanan ringan yang terbuat dari tepung ini banyak dijumpai di warung kaki lima dan jarang dijumpai di restoran mewah. Tidak salah kemudian bila kerupuk, oleh sebagian orang Indonesia justru menjadi anekdot untuk memperolok seseorang yang berbadan kurus dan dipandang kurang gisi.
"Saat pertama mengawali usaha pembuatan kerupuk saya percaya bahwa suatu saat nanti kerupuk bisa menjadi makanan yang mahal dan digemari oleh semua orang baik itu kelas menengah atas maupun bawah, " kata Supardi.
Supardi bukanlah ahli ekonomi ataupun bisnis. Ia hanyalah pria yang tidak sampai tamat Sekolah Dasar. Membaca dan menulis saja ia tidak fasih. Tidak jarang bila berhadapan dengan kontrak jual beli yang melibatkan kemampuan baca tulis, Supardi meminta bantuan kepada Mulyandi, putra ketiga dari empat bersaudara yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan pasca sarjana Ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi swasta untuk menterjemahkannya.
Sejak berumur 8 tahun, Supardi yang dilahirkan dari keluarga buruh tani di desa Gemulung Kabupaten Sregen Jawa Tengah menjadi yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal karena penyakit. Kondisi ekonomi saat itu membuat penyakitnya tidak bisa ditangani secara medis karena tidak mampu membayar rumah sakit.
Sepeninggal kedua orang tuanya, Supardi diasuh oleh salah satu saudaranya yang rumahnya tidak jauh dari kediaman orang tua Supardi. Mengingat kondisi ekonomi pengasuhnya itu membuat Supardi terpaksa putus sekolah.
Untuk mencukupi kebutuhannya, Supardi pun bekerja sebagai pencari rumput makanan ternak. Ia tidak diberi upah bulanan, melainkan mendapatkan upah tahunan berupa seekor kambing. Masa kecilnya pun dihabiskan dengan bekerja pagi hingga sore hari. Tidak ada waktu baginya untuk bermain dengan teman-temen sebayanya.
"Saat bekerja saya sering melamun menjadi orang kaya. Seringnya melamun justru membuat tangan saya terluka akibat tersayat alat pencabut rumput," katanya sambil menunjukkan jemari tangan yang menghitam bekas luka.
Hari demi hari ia lalu dengan bekerja di tengah sengatan terik matahari. Hingga akhirnya, upah seekor kambing pun ia terima sebagai tanda kerja kerasnya. Kambing itu pun dijualnya,
kemudian uang diserahkan kepada pengasuhnya untuk digunakan sebagai penopang hidup.
Tahun demi tahun berikutnya ia lalui seperti biasa. Saat berumur 17 tahun, Supardi berniat untuk merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dengan modal minim dan sepotong pakaian, ia meninggalkan desanya menuju Surabaya.
Di kota Pahlawan ini ia berharap bisa bekerja menjadi buruh pabrik. Namun sialnya, setelah berulangkali melamar pekerjaan, tidak ada satupun yang mau menerimanya.
"Saat itu saya hampir putus asa karena sudah tidak punya uang di saku. Apalagi di kota Surabaya, saya tidak punya saudara. Tetapi saya harus optimis bahwa saya tidak akan menjadi gelandangan karena tidak mempunyai tempat tinggal, " katanya.
Salah satu rekannya seperantauan mengajak Supardi membuat dan kemudian menjual kerupuk yang saat itu harganya masih Rp 1,-. Untuk modal pertama, rekannya itu yang membiayainya.
Setiap hari, ia harus menjual kerupuk dengan berjalan kaki sejauh lebih dari 40 kilometer dengan membawa bakul jinjingan. Satu per satu ia mendapatkan pelanggan. Hingga akhirnya, ia mampu membayar hutang kepada rekannya yang memberikan pinjaman modal.
Setiap hari, ia harus menjual kerupuk dengan berjalan kaki sejauh lebih dari 40 kilometer dengan membawa bakul jinjingan. Satu per satu ia mendapatkan pelanggan. Hingga akhirnya, ia mampu membayar hutang kepada rekannya yang memberikan pinjaman modal.
Keuntungan pun ia dapatkan dan sebagian penghasilan itu dibelanjakan untuk membeli sepeda pancal. Dengan mengayuh sepeda barunya itu, Supardi menjangkau area yang lebih luas lagi. Jumlah pelanggannya pun bertambah.
Beberapa tahun kemudian, ia membeli sepeda motor. Hingga akhirnya, saat ini Supardi menjadi pengusaha kerupuk terbesar di Surabaya yang mempunyai 80 orang pekerja. Penghasilannya lebih dari Rp 10 juta per hari.
Dengan penghasilan tersebut, Supardi memiliki dua mobil mewah seharga diatas Rp 200 juta, tanah sawah seluas lebih dari 60 hektar, dan 3 rumah yang masing-masing berukuran diatas 600 meter persegi. Itupun belum termasuk uang dalam bentuk tabungan dan aset tak bergerak lainnya.
Anda bisa menghitung berapa jumlah penggemar kerupuk di Indonesia bukan setelah melihat berapa aset Supardi ?
Prospek Bisnis Kedepan
Bagaimana seorang yang tidak lulus SD bisa mengelola bisnis ? Apalagi sejak kecil ia bukanlah dilahirkan dari keluarga pedagang seperti orang China di Indonesia yang mayoritas sejak lahir akrab dengan dunia dagang ?
Ketika 60 pengusaha kerupuk di Surabaya gelisah dengan kenaikan harga minyak goreng dari Rp 9000,- per liternya menjadi Rp 14.000,- per liternya, Supardi pun mengalami nasib yang sama. Saat itu, ia terpaksa menaikkan harga kerupuk dari Rp 200,- menjadi Rp 250,- per buahnya.
Namun, kerupuk yang telah dinaikkan harganya itu ternyata tidak laku di pasaran pasalnya semua pedagang menolak harga tersebut dengan alasan konsumen enggan membelinya. Sehingga kerupuk yang seharusnya terjual, kini tertimbun di gudangnya. Hari itu kerugiannya mencapai Rp 5 juta.
"Ini merupakan pilihan sulit bagi saya, tetapi saya bertekad terus memproduksi kerupuk hanyalah demi melayani konsumen saya. Tetapi konsumen ternyata menolak dengan harga itu, " katanya.
Setelah menderita kerugian, tanpa berpikir panjang dalam menyusun strategi penjualan, Supardi memutuskan tetap berproduksi dengan harga Rp 200,- namun ukuran kerupuk diperkecil dari ukuran biasanya.
Tidak takut rugi lagi ?
"Sejak dahulu saya selalu tidak pernah berpikir panjang dalam menjual. Bagi saya yang penting konsumen tidak kehilangan makanan kerupuk. Lebih baik rugi lagi ketimbang membuat konsumen kecewa, " katanya.
Beruntunglah strategi tanpa berpikir panjang Supardi bisa diterima oleh pasar. Konsumen menerima kerupuk dengan ukuran lebih kecil ketimbang harga kerupuk dinaikkan.
Industri kerupuk, kata Supardi, telah terbiasa dengan pahit getirnya sebuah usaha. Kerupuk yang di era tahun 80-an pernah seharga Rp 1,- terus naik hingga harga saat ini. Kenaikan harga kerupuk lebih banyak terpengaruh oleh kenaikan harga bahan baku, misalnya tepung terigu, minyak tanah dan minyak goreng.
Sejak harga minyak tanah naik secara berlahan mulai tahun 2004 lalu, Supardi menggantikannya dengan kayu bakar. Sehingga ketika minyak tanah yang langka di Surabaya akibat program konversi minyak tanah ke elpiji, Supardi tidak bingung.
"Kalau harga minyak goreng naik itu yang paling membingungkan sebab tidak mungkin ada bahan pengganti selain minyak goreng, " katanya.
Supardi telah berusaha menggantikan minyak goreng dengan pasir. Namun cara itu gagal karena hasil gorengannya tidak maksimal dan rasa dari kerupuk jauh berbeda.
Meskipun dilanda dilema pasca kenaikan minyak goreng, namun Supardi optimis bisnis kerupuk akan semakin cerah di tahun mendatang. Saat ini dengan dikemas secara menarik, kerupuk bukan saja menjadi makanan ringan kaum miskin, tetapi juga kaum menengah keatas.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda