Kebahagiaan Hidup Ala Pembuat Miniatur Perahu Trasional
Bukanlah harta kekayaan yang membuat seseorang berbahagia di hari tua. Di usia senja, Djuhhari Witjaksono (77), pengrajin miniatur perahu tradisional di Mojokerto, Jawa Timur terus bergulat membuat miniatur perahu bersama dengan puluhan pemuda pengangguran.
Di rumahnya di Jl. Brawijaya no 302 Mojokerto tidak tersimpan serial bacaan pemberi inspirasi hidup ala A Cup of Chicken Soup for the Soul karya trio inspirator Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan Barry Spilchuk. Juga bacaan best seller karya Robert T Kiyosaki berjudul Rich Dad, Poor Dad.
Djuhhari hanya menyimpan puluhan buku tentang berbagai sejarah dan ulasan perahu trasional dari berbagai penjuru dunia, sejarah kerajaan Majapahit dan pengetahuan umum yang memberinya inspirasi dalam membuat miniatur perahunya, seperti buku berbahasa Belanda berjudul Die letzten groken Segelschiffe karya Delius Klasing Verlag dan The Prahu,tradisional Sailing Boat of Indonesia karya Adrian Horridge.
Dimanakah ia menemukan kehidupannya ?
"Saya gemar membaca buku tentang agama dan sejarah dunia dan perkapalan, dan disitulah saya selain mendapatkan pengetahuan juga pelajaran tentang arti hidup, " katanya.
Sekitar tahun 1950, Djuhhari yang aktif menjadi anggota Pramuka, Bapak Pandu Pramuka se-dunia Robert Baden Powell berkunjung di Surabaya. Di depan ratusan anggota Pramuka ia berkata "Berjalanlah sampai ke daratan dan berlayarlah sampai ke pantai, "
Saat itu, Djuhhari tidak mengerti apa arti ucapan itu.
Tetapi, sepulang dari acara Powell, Djuhhari pun tertarik dengan bacaan tentang dunia maritim, khususnya mengenai perkapalan. Ia hanya mengingat kata-kata berlayar saja yang identik dengan perahu.
"Saya sangat tertegun melihat perahu yang terbuat dari kayu milik bangsa Portugis yang mampu berlayar keliling dunia dengan berbagai tantangan di laut. Kemudian saya mencoba membuatnya miniatur perahu itu, " katanya.
Setelah bertahun-tahun menggeluti membuat miniatur perahu tradisional, kini ia baru mengerti apa yang dimaksud Powell saat itu. Powell, kata Djuhhari, rupanya memberikan inspirasi tentang kehidupan.
Tidaklah mudah berjalan sampai ke daratan dan berlayar sampai pantai. Namun agar dapat melaju di ganasnya gelombang laut dan sampai ke pantai, perahu haruslah dibuat kuat dan tangguh menghadapi segala jenis gelombang.
"Kesulitan membuat perahu yang kuat terletak pada tingkat kerumitannya. Saya harus bersabar dan terus mencoba menyusun satu demi satu bagian perahu. Tidak jarang pula saya harus membongkar kembali demi mendapatkan bentuk aslinya, " katanya.
KeluargaSaya pun menggambarkan kehidupan Djuhhari mirip seperti apa yang dikata Barry Spilchuk, profesional motivation trainer asal Kanada dalam A Cup of Chicken Soup for the Soul menuliskan harta anda bisa berlimpah, namun warisan terbaik yang dapat anda berikan kepada anak-anak anda adalah teladan yang baik.
Di buku yang sama, Hodding Carter mengungkapkan hanya ada dua warisan kekal yang semoga dapat kita berikan kepada anak-anak kita; yang satu adalah akar, yang lainnya adalah sayap.
Begini ceritanya, Djuhhari yang dilahir di Malang 15 Desember 1930 dididik dalam sebuah keluarga besar penganut poligami. Ia mempunyai dua ayah dan tiga orang ibu. Saat itu, perekonomian keluarga menjadi masalah utama meskipun Djuhhari mengaku tidak mendapatkan masalah dalam berhubungan dengan orang tuanya.
"Kedua ayah saya bekerja sebagai sopir truk, begitu juga dengan keempat saudara saya yang juga menjadi sopir, sedangkan ketiga ibunya tidak bekerja, " kata Djuhhari yang paling muda diantara keempat saudaranya itu.
Oleh karena himpitan ekonomi membuat keempat saudaranya tidak bisa meneruskan pendidikan Sekolah Dasar, lantas bekerja membantu kedua ayahnya. Kemiskinan pulalah sering membuat Djuhhari harus makan makanan kurang bergizi, yaitu nasi dan garam ataupun singkong dan garam.
Towil Pawirjo, salah satu ayahnya meminta agar bagaimanapun caranya agar Djuhhari tetap bersekolah dan tidak bekerja di usia dini seperti keempat saudaranya. Ia ingin agar Djuhhari tidak menjadi sopir dengan penghasilan minim.
"Ayah saya bekerja sangat keras siang dan malam demi memenuhi kebutuhan sekolah saya hingga di Sekolah Menengah Atas. Ayah saya mengajarkan kepada saya apa artinya kerja keras demi sebuah tujuan, " kata Djuhhari.
Setelah lulus dari Sekolah Tehnik Menengah, Djuhhari pun bekerja di perusahaan kontraktor jalan raya. Di sela kesibukan pekerjaanya, ia menyempatkan diri untuk mempelajari kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia.
Setelah pensiun dari pekerjaannya, Djuhhari mulai menekuni ketrampilannya membuat miniatur perahu. Ia kemudian mengajak pemuda pengangguran yang ada di sekitarnya untuk bekerja di tempatnya.
"Banyak orang yang setelah pensiun ingin menikmati masa tuanya dengan tidak bekerja. Tetapi tidak bagi saya yang ingin terus bekerja demi mencapai kesuksesan bagi orang lain, " katanya.
Berhasil
Dalam bukunya, Robert T Kiyosaki mengatakan orang kaya tidak bekerja untuk uang. Setelah pensiun, Djuhhari mengajarkan ketrampilannya membuat miniatur perahu kepada ratusan pengangguran di sekitar rumahnya.
Saya sempat bertandang ke rumahnya, saat itu Djuhhari terlihat serius memberikan pengarahan kepada salah satu pemuda yang tangannya penuh dengan tato bergambar ular naga yang bekerja membuat miniatur perahu tradisional "Dewa Ruci" di bengkel kerajinanya.
"Tiang perahu ini harus dihaluskan lagi, kemudian ditancapkan pada celah-celah bagian perahu, Ingat jangan salah menancapkannya karena akan mengubah bentuk asli perahu, " katanya kepada pemuda bertato itu.
Di bengkel kerajinannya itu tersimpan puluhan jenis perahu tradisional beraneka bentuk dan ukuran yang siap dijual. Harga masing-masing perahu berkisar antara Rp 7.500,- sampai dengan Rp 600 juta. Harga itu dipatok sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukuran miniatur itu sendiri.
Selain dijual di pasar lokal, produk perahu miniatur Djuhhari juga dijual ke mancanegara. Karya buatannya pun telah diakui oleh pasar dunia. Ini terbukti Djuhhari memperoleh penghargaan di bidang Seal of Excellence for handicrafts tahun 2006 untuk perahu tradisional kerajaan Majapahit buatannya dari United Nations Educational Sciencetific and Culture Organization.
Ide kreasi miniatur perahu yang dipakai pada zaman kerajaan Majapahit itu ia dapatkan setelah membaca puluhan referensi buku sejarah tentang kerajaan Majapahit yang pusat pemerintahannya berada di Trowulan, Kabupaten Mojokerto atau sekitar 20 kilometer dari kediamannya.
"Dengan hasil ciptaan saya ini bisa menjadi referensi bahwa nenek moyang kita dahulu memang seorang pelaut. Ini dibuktikan dengan sejak zaman Majapahit telah dibuat perahu tradisional yang bentuknya tidak kalah dengan perahu yang dibuat oleh bangsa Portugis, " katanya.
Sayangnya, sejak zaman penjajahan Belanda, kreasi penduduk lokal membuat perahu yang bisa berlayar ratusan mil ini pupus setelah keluarnya larangan dari pihak penjajah kepada pribumi untuk membuat perahu yang lebih dari 20 ton. Sehingga pada masa penjajahan hingga sekarang perahu tradisional bentuknya kecil dan hanya cukup sebagai menangkap ikan saja.
Sedangkan bangsa lain, seperti Portugis, Inggris dan Spanyol sudah lebih modern membuat kapal kayunya dan sanggup berjalan ratusan mil jauhnya.
"Selain mendidik para pemuda pengangguran untuk bisa bekerja, saya juga mengajarkan kepada mereka agar tetap mengingat bahwa sejarah nenek moyang Indonesia yang juga sebagai pelaut, " katanya.
Sama halnya dengan pekerja lainnya, pemuda pengangguran yang bekerja membantu Djuhhari membuat miniatur perahu juga diberikan upah maupun uang makan. Namun, Djuhhari yang memulai usahanya sejak tahun 1980 itu tidak pernah melarang setiap karyawannya untuk membuka usaha sejenis. Bahkan, ia selalu mendorong karyawannya agar mandiri. Tidak segan-segan pula ia memberikan bantuan modal kepada mereka yang terampil dan siap berwiraswasta secara mandiri.
Hingga saat ini ratusan karyawan didikannya telah membuka usaha serupa di beberapa tempat di Indonesia, mulai dari Jawa Tengah hingga Jakarta. Bahkan, anak didiknya yang telah berhasil juga menerapkan ilmunya kepada pemuda pengangguran lainnya.
"Saya selalu memberikan nasehat agar anak didik saya yang berhasil harus mengajarkan cara membuat miniatur kapal ini kepada generasi muda dan pengangguran agar mereka menjadi orang yang mandiri sekaligus cinta terhadap sejarah nenek moyangnya, " katanya yang pernah
mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto 28 Desember 1991.
Kini, di usianya yang mulai uzur, ia sedang berbahagia karena ia dicintai keluarga dan masyarakat atas usahanya, seperti petuah bilang kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah kepastian untuk dicintai.
Sedangkan, cinta Djuhhari kepada perahunya itu seperti ungkapan genta bukanlah genta sebelum dibunyikan, lagu bukanlah lagu sebelum dinyanyikan dan cinta bukanlah cinta sebelum dipersembahkan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda